Ketika sinar mentari pagi menyeruak masuk ke kamarku berebut dengan jendela tua yang kubuka. Tiba-tiba ucapan dari Mas Hadi kemarin kembali teringat, dan itu sangat menggelitik di otak kepalaku. Spontan aku merasa lemas dan terduduk di atas kasur yang selimut dan sepreinya masih tampak acak-acakan. niat untuk merapikan alas tidurku pun tertunda. Tak sadar kuletakkan telapak tangan kananku persis di kening dengan kepala yang sedikit miring, lalu kugerakkan berulang-ulang dengan tekanan hingga rambut kepala bagian atas terurai dan kusut sekusut alas tidur yang sedang kududuki. Pandangan mata kosongku tertuju pada kanvas ukuran 40×60 lukisan potret diriku yang masih setengah jadi. Cukup lama aku terduduk dengan pikiran yang masih bergejolak tak menentu. Kucoba perintahkan otak dan hati untuk berkoordinasi agar jiwa ini damai. Namun belum bisa. Kusuruh kaki untuk berdiri dan melangkah menuju jendela agar mataku melihat silau dan cerianya sinar dan hijaunya dedaunan yang masih diselimuti embun pagi nan segar. namun tetap nol hasinya. Tanpa sengaja, tanganku mengepal kuat bagai batu keras, lantas kugigit-gigit kuku jempolku hingga terlepas dengan sendirinya saat aku tersadar. Satu-satunya jalan kupaksakan untuk bangun menuju bak mandi mengambil air wudlu, benar saja, ada semacam bisikan datang menuntunku, selesai itu aku raih kunci di atas meja dan langsung menstater GL Max produk Jepang tahun 1997 kesayanganku. Kuputuskan pergi ke rumah Wowoh Nasrullah saudaraku yang berjarak enam ratus meter di sebelah barat rumahku. “De… mau ke mana sepagi ini naik motor, sarapan dulu!” teriak ibuku yang sedari tadi sibuk bekrja dan masak di dapur. “Ade pergi sebentar kok…simpan saja di meja, nanti aku makan sepulang dari rumah Roni.” Jawabku sambil berjalan menuju honda hijauku. Melesat cepat menuju rumah besar Kang Haji Munawir, MBA. ayahnya Wowoh.

“Woh, kita ke Balongan yuuk.. berjemur pagi sambil ngobrol sesuatu di pinggir pantai!” bujukku sembari menyembunyikan maksud yang sebenarnya. Sejurus aku lihat anggukan kepelanya berkali-kali, kening berkerut dan bibir beradu rapat, tanda sikap setuju bercampur ragu. ”Hayuu…sekarang, Mang Ade?”, tanyanya kepadaku dengan sebutan mang, sama seperti semua orang sedesa tegalurung menyebutku mang Ade, nama asliku Syamsul Hadi mungkin hanya orang tertentu saja yang tahu. “Iya sekarang…mumpung belum panas betul.” Jawabku cepat karena sudh tidak sabar. Buru-buru Kubonceng dia menuju rumah H. Mughni Labib ayahnya Roni Samsul Bahri di desa Balongan tepatnya di depan perusahaan megah BUMN yang berlambangkan dua kuda laut menghadap bintang. Wowoh dan roni adalah bersepupu, keduanya adalah cucu dari bibiku bernama Hj. Hafsah dan Siti Dawiyah. Kami bertiga aktif dalam sosial dan keagamaan, karena peran orang tua kami pada keagamaan dan pendidikan lumayan sangat ketat, sehingga kehidupan kami banyak diabdikan untuk masyarakat, aku jebolan Fakultas Syari’ah IAIN bandung, Wowoh sarjana Ekonomi UNINUS, sedangkan Roni adalah sarjana PLS dari UNPAT. aku sebagai ketua karang taruna, dan Sekretaris FKKT Kecamatan Balongan. roni sebagai ketua IRMA Al-Muawwanah dan Sie Dakwah BKPRMI Kecamatan Balongan, sedangkan Wowoh adalah pengurus karang taruna dan Manajer Club Sepak bola Persiba kecamatan Balongan.
Kupacu kendaraanku cepat=cepat menempuh jarak 2,5 KM, dalam perjalanan aku terdiam sambil memikirkan redaksi kaliamat apa yang tepat untuk aku sampaikan pada kedua saudaraku. Hanya deru mesin GL Max ku saja yang terdengar dan selebihnya konsentarsi full saat berpapasan dengan mobil-mobil tangkii besar merah putih bermuatan BBM. 5000, 8000, hingga 16.000 liter.
“Kok Tumben Kang Wowoh dan Mang Ade datang sepagi ini, mau pada kemana niih?’ sambut Roni kepadaku dan wowoh yang masih nangkring dengn tangan memegang kunci yang hendak dibuka. “Sengaja mau ke kamu, Ron.” Sahutku cepat sambil turun. “ Ohh… ya udah yuuk ke rumah!” Ajaknya dengan khas suara berat sambil balik kanan mendahuluiku. Cepat-cepat kuraih tangannya, “Ron, tunggu…kita ke jondol timur saja yuk!” sanggahku sambil meraih lengan tangan kanannya hingga terduduk di kursi jondol. Sebelum bicara aku menarik nafas dalam-dalam lebih dahulu. Namun karena ini adalah masalah serius aku ciptakan mimik dan tubuhku tanda serius. “Woh, Ron, begini…saya kemarin sore didatangi Mas Hadi istrinya mak lampir, dia katakan, Pak Letkol TNI Yadi tidak terima atas protes keras dari kami bertiga yang berusaha menutup Discotek yang baru dia buka pada malam Jumat itu.” Wowo dan roni tampak antusias hingga menggeser tempat duduknya berhadapan dengan aku. Wowoh yang sedari tadi memilih banyak diam, kini tampak tegang dan banyak bertanya, “Trus… apa lagi kata Mas Hadi?” desaknya tak sabar. “Katanya kerugian pada malam itu hingga mencapai 250 juta rupiah. Sore itu sekira pukul 5.30 an para polisi dari mapolsek Balongan dan indramayu yang datang untuk menutup louncing diskoteknya dengan mengatas namakan laporan dari warga emapat desa, Tegalurung, singaraja, suka urip dan balongan.” Paparku dengan suara perlahan tekanan kata yang perlu seperti ucapan mas Hadi. Tamapak kedua tokoh pemuda dihadapanku kini menunjukkan sikap yang tegang bercamur takut, penyesalan, kemarahan, atau yang lainnya. ”Lalu bagimana sikap sang Letkol…kepada kami?” desak roni makin penasaran. “Saya belum tahu persis, Ron. Yang pasti dia juga memarahi Mas Hadi dan teman-teman dia yang setia dan sebagai kaki tanganya.”. “Kenapa Mas Hadi membocorkan rahasia Letkol kepada kita?”sahut wowoh tak sabar. “Gitu-gitu juga istri Mas Hadi kan Saudara kita dan dia akrab dengan kita sejak lama, jadi…gak aneh kalau dia juga pro kepada kita, ya kan?” jawabku untuk meyakinkan mereka bahwa kita juga punya mata-mata dari pihak Letkol yang pro kita. “ Naah sekarang bagaimana sikap kita?, kata Roni. “Iya kita harus bagaiman kalau sudah begini?” sahut Wowoh. “Bagaimana pun juga ini ancaman bagi kita Mang ade.” Sela roni. “apa kita musti minta perlindungan keamann dan hukum kepada aprat?” sela wowoh… dan banyak pertanyyan lain yang belum aku jawab. Aku pun bingung pertanyan siapa dan yang mana yang harus ku jwab. “ pesan mas hadi yang terahir padaku, Mang Ade, Mas Wowo dan Mas Rono tolong hati-hati dan selalu waspada, Karena Pak letkol sepertinya kenal betul dengan kalian bertiga. Terutama usul yang bernada protes keras dari mang ade dan Mas Roni.” Kami bertiga terjebak dalam kebingungn dan kebuntuan berpikir. Karena itu kesimpulan sementara aku smpaikan, “Pokoknya kita harus meningkatkan kewaspadaan tinggi, dan karena kami sudah teridentifikasi oleh letkol yang kemungkinannnya ada dua, yaitu berdamai dan teruskan perjuangnnya. Kalau kita berdamai tentu saja aku khawatir jikia beliau meminta ganti rugi.
.