Imam Abdullah bin Dhaifillah ar-Rahili dalam kitabnya:
طريقك الى الاخلاص والفقه فى الدين / Thariquka ila al-Ikhlash wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 13) mengatakan:
وحقيقة الإخلاص صدقٌ في النيَّة والقول والعمل، فيما يتعلق بحقوق الله تعالى، وفيما يتعلق بحقوق المخلوقين.
“Ikhlas yang sebenarnya adalah: ketika niat yang tulus sejalan dengan ucapan dan perbuatan, baik amal yang kaitannya dengan hablum minallah maupun hablum minannas.”
Dari apa yang dikatakan ar-Rahili ini, semakin tegas bahwa ikhlas sangat erat hubungannya dengan HATI.
Hati yang sedang dalam titik fokus menghadap kepada Allah SWT semata, murni hanya mencari perhatian Tuhannya, tidak yang lain. Lebih jelas mengenai hakikat ikhlas, baik kiranya kita mengutip Abu Bakr Muhammad bin Ishaq al-Kalabadzi dalam kitabnya:
التعرف لمذهب اهل التصوف / at-Ta’arruf li Madzhabi Ahli at-Tashawwuf hal. 11
Beliau mengutip kalam Abu Ayyub as-Susi yang berbunyi:
الخالص من الأعمال ما لم يعلم به ملك فيكتبه، ولا عدو فيفسده، ولا النفس فتعجب به
“Amal yang tulus adalah amal yang dilakukan (dengan benar) tanpa pernah berpikir sedikit pun tentang catatan baiknya, juga tak terbersit akan ada orang lalim yang akan menghalanginya, begitu pun juga orang yang tekjub bangga olehnya.”
Karena itu, barangkali kita bisa memulai melihat diri sendiri, bagaimana kondisi batin kita dalam setiap laku bajik yang pernah atau sedang dilakukan.
Dan, mencoba memperbaikinya untuk hal yang baik berikutnya.
Puncak Tertinggi Keikhlasan Masih dalam kitab Thariquka ila al-Ikhlash wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 15), Imam Abdullah menghimpun dua puncak tertinggi sebuah keikhlasan, yaitu:
1). mampu mengamalkan ajaran dua kalimat syahadat—yang kita yakini dan sering diucapkan itu—dengan penuh ketulusan.
Kalimat pertama, asyhadu alla ilaha illallah mengajarkan bahwa setiap ketaatan, sembah, dan laku bajik yang kita lakukan—tak hanya kepada sesama manusia, tapi juga seluruh makhluk Tuhan—merupakan bentuk penghambaan yang kita persembahkan hanya untuk Allah SWT.
Adapun kalimat kedua, wa asyhadu anna Muhammad(an) rasulullah mengajarkan, di setiap jejak ketaatan yang kita ukir di bumi ini adalah upaya mensyukuri kehadiran Nabi yang telah diutus sebagai rasul pembawa kebenaran dan kedamaian. Tanpa Nabi, kita akan hidup dalam gelimang kesesatan yang berkepanjangan.
Disinilah almaghfurlah KH. AHMAD RIFA’I, menuntun para pengikutnya untuk jangan sampai lupa mengucapkan dan memahami ” SYAHADAT LORO dalam kitabnya:” Tahyiroh”
2). menghimpun dan menyatukan 3 pilar dalam diri manusia-baik dalam statusnya sebagai makhluk sosial maupun individual—yaitu:
(1) tekad,
(2) ucapan, dan
(3) perbuatan,
agar tidak keluar dari rel ketulusan.
Jangan sampai laku dan ucapan seolah murni untuk Tuhan, tetapi hati malah menginginkan ketenaran dan pujian dari para makhluk-Nya.
Setelah mengetahui apa hakikat dan puncak keikhlasan, lalu bagaimanakah tanggapan agama ihwal klaim ‘tidak ikhlas’ yang kerap diucapkan secara serampangan dan tak bertanggung jawab itu.
Baginda Nabi SAW bersabda:
سألت جبريل عليه السلام عن الإخلاص، ما هو؟ فقال جبريل عليه السلام: سألت رب العزة تبارك وتعالى عن الإخلاص، ما هو؟ فقال رب العزة تبارك وتعالى : الإخلاص سر من سري أودعته قلب من أحببت من عبادي.
“Nabi bertanya kepada malaikat Jibril tentang ikhlas. ‘Apakah ikhlas itu?’ Jibril menjawab, ‘Aku telah menanyakan hal itu kepada Tuhan semesta. Dia menjawab, ‘Ikhlas adalah salah satu rahasiaku yang aku tempatkan dalam hati hamba-hambaku yang aku cintai’.”
(الرسالة القشيرية /ar-Risalah al-Qusyairiyah , karya Abdul Karim bin Hawazan bin Abdul Malik al-Qusyari, juz 2, hal. 360)
Maknanya, Nabi sang kinasih Ilahi saja tidak diberi tahu apa dan bagaimana ikhlas tersebut.
Kemudian, siapakah kita bil dibanding denganNabi?
Mengapa kita begitu dengan angkuhnya menuduh orang lain tidak ikhlas. Ikhlas itu urusan Allah.